Roni menghempaskan lembaran itu ke lantai. Marni terdiam melihat Roni yang tampak gelisah.
“Tidak, jangan sekarang. Kasihan Ririn jika dia tahu tentang ini semua,” ucap Roni pada dirinya sendiri.
Marni mulai terisak. Hatinya seperti diiris-iris. Otaknya berusaha melogika. Tapi percuma. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyanya lirih, sambil mengambil surat bertanda tangan dokter itu dari lantai. Diletakkannya dengan hati-hati di atas meja.
“Aku tak tahu,” jawab Roni, masih termenung bertumpukan tangan di atas meja makan. “Jika dokter saja sudah memvonis bahwa dia tak akan hidup lebih lama, apa yang bisa kita lakukan?”
Marni kembali terdiam, tapi kali ini karena dia menemukan jalan.
* * *
Tanah masih basah.
“Dia sedih sekali,” ujarku lirih.
“Dia akan baik-baik saja.”
Aku hanya diam mengawasi. Ririn duduk bersimpuh. Berulangkali dia mengusap matanya dengan tissue. Bahunya bergerak-gerak seirama sedannya. Aku mendekat. Kudengar dia bergumam sendiri.
“Terima kasih, Ibu. Terima kasih. Aku tak bisa berkata lebih dari itu. Aku akan merawatnya sebaik mungkin, karena ada sebagian dari Ibu yang hidup di dalam diriku. Aku tak bisa menyalahkan siapapun. Juga para dokter. Mereka sudah berusaha sebaik mungkin.”
“Ya, mereka sudah berusaha sebaik mungkin,” bisikku.
Ririn bangkit. Sekali lagi dia membersit hidungnya. “Ririn pamit, Bu. Ririn akan selalu mengunjungi Ibu. Ririn janji.”
Aku mengawasi mereka, Roni dan Ririn, yang pergi dengan langkah gontai. Lalu sekali lagi aku memandangi nisan yang masih basah oleh air mata Ririn. Ada namaku di situ.
Marni binti Mahmud.
Ririn, jaga dirimu, sayang. Ibu akan selalu ada di mana pun kamu berada. Tak usah khawatirkan Ibu. Satu ginjal sudah cukup untukmu. Rawatlah baik-baik. Tak usah kamu risaukan yang lain. Semua sudah digariskan.
Aku berbalik. Mengikuti arah suara yang sejak tadi menemaniku. Suara beraura putih seputih kapas, bening seperti air dari mata air gunung dan menyejukkan seperti hujan di pagi hari. Yang menuntunku hingga tangga teratas dari lorong yang gelap.
——————–
Jogja, 14 Maret 2013
A prompt challenge on Monday Flashfiction
Cerita pengorbanan seorang ibu, ternyata si aku itu si Marni toh … Wah keren mak, bikin cerita seperti ini yg aku masih belum bisa.
LikeLike
udah dicoba belum? π
LikeLike
Pengorbanan seorang ibu ya…
LikeLike
iya π
LikeLike
Sedang menyimak tulisan yang keren π
LikeLike
eitsss π
LikeLike
kasih ibu sepanjang jalan..
LikeLike
iyaps π
LikeLike
mewek…;-(
LikeLike
π₯
LikeLike
hiks sedih jadi kangen ibu….
LikeLike
π₯
LikeLike
huwaaa…. keren sangat!
LikeLike
aish.. makasih darling.. :-*
LikeLike
wogh, ini mah emang keren π
LikeLike
masa??? π bikin yg lebih keren lagi, ayo!
LikeLike
Sudah tahu lah, komentar saya bagaimana π mantaff
LikeLike
emang apa komennya? mantaff itu bukan komen π
LikeLike
Keren ceritanya. Yang namanya pengorbanan apalagi dilakukan seorang ibu, sering menguras airmata π
LikeLike
huhu… dikomen ama Mbak Indah T__T makasih mbak…
LikeLike
Nyesek.. π
LikeLike
π₯
LikeLike
pengorbanan π¦
LikeLike
π¦
LikeLike
membuatku menghela nafas.
satu kata aja, keren! π
LikeLike
uhuy! makasih :-*
LikeLike